Bulan yang lalu tepatnya pada tanggal 22 Juni 2013 Pemerintah melalui Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor: 07.PM/12/MPM/2013 telah menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan BBM ini diperkirakan akan memberikan dampak yang cukup signifikan pada pembentukan laju inflasi tahun 2013. Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri dalam pengendaliannya agar inflasi tetap berada pada rentang target yang telah ditetapkan. Bank Indonesia memprediksi laju inflasi pasca
kenaikan harga BBM berada pada level 7,8 persen dengan perkiraan kenaikan harga BBM bersubsidi menyumbang inflasi sebesar 2,46 persen. Pemerintah sendiri di dalam APBN-P 2013 mematok target inflasi pada kisaran 7,2 persen.
Berkaca pada sejarah, kenaikan harga BBM bersubsidi biasanya memberikan sumbangan kenaikan inflasi yang cukup besar. Pada tahun 2005 lalu, kenaikan harga BBM bersubsidi memberikan sumbangan kenaikan inflasi sebesar 3,74 persen (Bank Indonesia, 2005). Ini disebabkan oleh besaran kenaikan yang cukup tinggi, dimana cakupan komoditi BBM bersubsidi meliputi premium, solar dan minyak tanah, serta bobot komponen inflasi.
Secara historis, Bank Indonesia juga mencatat bahwa second round effect lebih tinggi daripada first round effect. Pada waktu itu, first round effect untuk tiap kenaikan 10 persen pada premium, solar, dan minyak tanah sebesar 0,37 persen, sedangkan dampak lanjutannya (second round) untuk tiap kenaikan 10 persen mencapai 0,41 persen, sehingga total dampak untuk tiap 10 persen kenaikan harga BBM mencapai 0,78 persen.
Pola–pola transmisi dampak kenaikan harga BBM tersebut diprediksi akan kembali berulang pada pembentukan laju inflasi tahun 2013, namun dengan besaran (magnitude) yang tentu saja berbeda. Perbedaan besaran ini karena persentase kenaikan dan jenis komoditi BBM yang mengalami peningkatan juga berbeda, dimana minyak tanah tidak lagi termasuk jenis BBM yang disubsidi. Selain itu, faktor-faktor domestik dan eksternal yang melingkupi situasi perekonomian juga berbeda, seperti misalnya pengaruh waktu kenaikan harga BBM yang berdekatan dengan kenaikan tahun ajaran baru, bulan Ramadhan dan Lebaran yang secara historis memberikan sumbangan inflasi cukup tinggi. Faktor eksternal yang cukup berpengaruh adalah situasi perekonomian global tahun 2013 juga berbeda dibandingkan tahun 2005.
Laju inflasi bulan Januari – Juni 2013 saat ini telah mencapai 3,35 persen, dimana inflasi bulan Juni 2013 sebesar 1,03 persen. Inflasi Juni 2013 di atas 1 persen merupakan inflasi tertinggi bulan Juni dalam 5 tahun terakhir (Inflasi Juni 2009 – 2010 selalu di bawah 1 persen). Perhitungan BPS menunjukkan bahwa inflasi Juni 2013 lebih banyak dipicu oleh kenaikan harga pasca kenaikan harga BBM pada 22 Juni 2013, sedangkan perubahan harga-harga pada 3 minggu pertama Juni 2013 rata-rata relatif tidak signifikan. Ini menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi belum terekam sepenuhnya pada laju inflasi Juni 2013. Second round effect yang biasanya lebih tinggi baru akan terlihat pada bulan Juli dan Agustus.
Melihat kondisi seperti ini dan untuk menjaga laju laju inflasi agar berada pada kisaran 7,2 persen seperti yang telah di targetkan pada APBNP 2013, serta memperhatikan perkembangan faktor-faktor yang ada, terdapat beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian bersama.
Pertama, laju inflasi volatile foods yang dipicu oleh harga-harga bahan makanan pokok. Datangnya bulan Ramadhan biasanya diikuti dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok seiring dengan kenaikan konsumsi masyarakat. Kondisi ini semakin diperkuat dengan datangnya tahun ajaran baru dimana ada kenaikan biaya sekolah yang secara historis turut mengerek laju inflasi. Dampak lanjutan kenaikan harga BBM (second round effect) akan semakin mengeskalasi laju inflasi melalui kenaikan biaya transportasi. Dengan kondisi ini, BPS memperkirakan inflasi bulan Juli 2013 akan mencapai puncaknya.
Untuk meredam kenaikan laju inflasi Juli 2013, langkah yang diperlukan adalah pengamanan pasokan bahan makanan menjadi faktor yang sangat krusial. Koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia melalui Tim Pengendali Inflasi di tingkat daerah (TPID) serta Pokjanas TPID diharapkan dapat berkontribusi dalam meredam gejolak kenaikan harga – harga bahan kebutuhan pokok. Pelaksanaan operasi pasar bahan – bahan kebutuhan pokok yang mempunyai bobot cukup tinggi dalam inflasi perlu ditingkatkan frekuensi dan cakupannya. Kelancaran distribusi barang dan jasa juga hendaknya menjadi prioritas.
Kedua, inflasi administered price atau harga komoditi yang ditentukan oleh pemerintah. Inflasi kelompok ini masih berpotensi terjadi, terutama berkaitan dengan kenaikan listrik tahap kedua dan kelangkaan LPG, khususnya LPG 3 KG. Selain itu, kenaikan harga BBM juga berimbas pada kenaikan tarif angkutan berdasarkan keputusan dari masing-masing Kepala Daerah.
Sebagai upaya untuk meredam kenaikan inflasi administered price, perlu dipertimbangkan dan dihitung secara mendalam mengenai waktu kenaikan tarif listrik tahap kedua. Khusus untuk LPG 3 Kg yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, agar dijaga keamanan pasokannya agar tidak terjadi kelangkaan yang akan semakin memukul daya beli masyarakat miskin. Sedangkan penetapan tarif angkutan juga harus mempertimbangkan daya beli masyarakat. Dalam jangka menengah, perlu dirumuskan skema pemberian subsidi maupun insentif untuk mendorong pengembangan transportasi publik yang nyaman dan terjangkau, serta terlindung dari gejolak kenaikan harga BBM bersubsidi, misalnya dengan penyediaan infrastruktur BBG bersubsidi untuk transportasi publik.
Ketiga, stabilitas nilai tukar rupiah. Kenaikan harga BBM diperkirakan akan membantu mengurangi defisit perdagangan akibat berkurangnya impor BBM, mendorong apresiasi rupiah, yang pada akhirnya akan mengurangi dampak imported inflation akibat depresiasi nilai tukar rupiah. Namun dalam perkembangannya, kenaikan harga BBM tidak serta merta akan memperbaiki nilai tukar rupiah mengingat perkembangan pasar yang cukup dinamis.
Salah satunya adalah pergerakan respon pasar terhadap rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang akan menghentikan kebijakan quantitative easing seiring dengan mulai membaiknya perekonomian Amerika Serikat. Implikasinya, suku bunga acuan The Fed diperkirakan akan dinaikkan sehingga kemudian mendorong meningkatnya arus modal keluar dari negara-negaraemerging market, termasuk Indonesia, sehingga akan memperlemah rupiah. Ekspektasi pasar akibat rencana perubahan ini terbukti telah membuat rupiah sudah berada pada posisi tertekan pada saat kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi mulai diterapkan oleh pemerintah. Ke depan pergerakan respons pasar harus disikapi dan diantisipasi dengan baik oleh Pemerintah dan Bank Indonesia melalui bauran kebijakan fiscal dan moneter.
Selain situasi eksternal, depresiasi nilai tukar rupiah juga akan dipengaruhi oleh perubahan perilaku konsumsi BBM masyarakat. Bila kenaikan harga BBM bersubsidi tidak berdampak banyak pada perubahan perilaku konsumsi BBM bersubsidi, asumsi perbaikan fiskal dalam bentuk perbaikan keseimbangan primer, serta pengurangan defisit perdagangan yang akan mendukung apresiasi rupiah sulit untuk terpenuhi. Oleh karena itu, upaya-upaya pengetatan pengawasan untuk meminimalisasi penyelundupan BBM bersubsidi perlu ditingkatkan efektifitasnya. Selain itu, upaya pengendalian konsumsi BBM bersubsidi melalui penerapan RFID (Radio Frequency Identification)pada kendaraan dinas dan pribadi dapat memberikan dampak yang cukup besar dalam menurunkan konsumsi BBM bersubsidi.
Dengan serangkaian langkah-langkah pengamanan pasokan bahan makanan, pengelolaanadministered price, dan antisipasi terhadap gejolak situasi eksternal melalui bauran kebijakan fiskal dan moneter, serta pengendalian konsumsi BBM bersubsidi, diharapkan realisasi inflasi 2013 dapat berada pada kisaran yang ditetapkan dalam APBN-P 2013. Diharapkan memasuki tahun 2014 inflasi yang meninggi sebagai dampak kenaikan BBM ini mulai menunjukkan kestabilan. Perekonomian Indonesia yang stabil kembali, yang tumbuh, berkembang dan membawa kesejahteraan bersama. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar